klik pasti untung

Selasa, 08 Maret 2011

Ayah, Antara Dakwah dan Keluarga



Kesibukan dakwah bukan kambing hitam untuk lepas tangan dari urusan keluarga dan rumah tangga. Yang diperlukan adalah keahlian mengatur manajemen kehidupan para ayah.
"Saya mengasuh sendiri kesembilan anak-anak saya. Ayahnya sibuk berdakwah. Sekalipun tak pernah sempat ia menunggui kelahiran putra-putranya," kata kenalan baru saya, seorang ibu berjilbab dengan nada penuh kebanggaan. Kami memang sedang membicarakan perjalanan perjuangan keluarga kami masing-masing.
Teman baru tadi meneruskan ceritanya, "Saya ingin meneladani Siti Hajar, yang ditinggal Ibrahim as seorang diri merawat bayi Ismail hingga tumbuh menjadi kanak-kanak yang sholeh." Subhanallah, sungguh mulia cita-cita teman saya ini. Karena cita-citanya itulah ia tak pernah mau mengganggu aktifitas dakwah suaminya dengan urusan anak-anak. Ke-sembilan anaknya pun sudah tak lagi memiliki perasaan rindu jika ditinggal sang ayah, karena tak adanya ikatan batin antar ayah dengan anak-anaknya.
Mudah-mudahan, batinku dalam hati, keinginannya meneladani Siti Hajar bisa tercapai. Namun, benarkah kita harus meneladaninya semirip itu? Jangan-jangan nantinya kita paksakan ayah untuk berpisah dengan anaknya tanpa alasan, gara-gara ingin meneladani kisah ajaib Siti Hajar dengan sama persis.
Tentunya tidak harus sama persis seperti itu kisah hidup manusia-manusia di muka bumi ini, bukan? Kisah kehidupan Ismail as adalah scenario khusus Allah yang tak bisa diikuti oleh orang sembarangan. Kalau Nabi Muhammad saw lahir dalam keadaan yatim, haruskah anak-anak kita mengalami pula hal yang persis serupa?
Melalui Al Qur'an dan teladan Rasulullah, telah digariskan batasan-batasan tanggung jawab seorang ayah terhadap keluarganya, tanpa mengganggu aktifitas dakwah perjuangannya. Inilah yang harus kita teladani dalam kehidupan sehari-hari. Namun kita pun mempersiapkan diri jika dalam satu kondisi tertentu, sikap Siti Hajar-lah yang harus kita contoh. Bukankah begitu penyelesaian terbaik? Lantas bagaimana dengan teman saya yang (hanya) ingin meneladani Siti Hajar tadi?
Siapakah yang berani mengklaim dirinya lebih repot, lebih susah dan lebih banyak ujiannya dalam dakwah melebihi yang dialami oleh Rasulullah saw? Namun ternyata bersamaan dengan jadwal dakwah beliau yang super padat itupun beliau menyempatkan diri senantiasa berinteraksi dengan keluarga, bahkan mengambil peran yang cukup besar pula di sana.
Manajemen pengelolaan waktu yang dilakukan Rasulullah patut pula diteladani. Dalam keterbatasan waktu yang ada Rasulullah senantiasa menjalin komunikasi dan keharmonisan serta membantu pekerjaan istri-istrinya. Kini, di jaman yang jauh lebih maju dari pada jaman kehidupan Rasulullah, dimana alat telekomunikasi dan transportasi sudah super canggih, masihkah pantas jika para ayah, para da'I, lepas tangan dari urusan rumah tangga dengan kesibukan dakwah yang dijadikan sebagai kambing hitamnya?
Pendidikan anak, jangan dikira hanya urusan ibu. Apa maksud Allah mencantumkan dialog pendidikan antara Luqman Al Hakim dengan anaknya? Tentu saja, Allah berkehendak menegaskan besarnya tanggung jawab ayah dalam mendidik anak Penemuan ilmu pengetahuan sekarang pun membuktikan, anak-anak yang memperoleh bimbingan aktif dari ayahnya, lebih berkembang kemampuan intelegensia maupun mentalnya disbanding mereka yang hanya diasuh aktif oleh ibunya.
 

Menyeimbangkan Dakwah dan Keluarga 

Jadwal Dakwah yang padat, yang mengharuskan seorang ayah lebih banyak berada di luar rumah, berkonsentrasi penuh di dalamnya, memang tidak seharusnya dihindari. Yang perlu dilakukan adalah menata ulang manajemen pengelolaan waktu, sehingga dengan sedikit waktu yang ada semua tujuan bisa tercapai. Bagaimana kiatnya? 
Jaga Keharmonisan & Komunikasi 
Secara rutin dan penuh keadilan, Rasulullah secar teratur menggilir hari dimana beliau bermalam dari satu rumah ke rumah istri yang lain. Namun dalam sehari tersebut, beliau tetap menyempatkan diri untuk berkeliling menemui semua istri dari satu rumah ke rumah yang lain, setidaknya untuk menanyakan kondisi mereka pada hari itu.. 
Hal serupa ini dapat diteladani di jaman sekarang dengan tetap menjaga terjalinnya komunikasi antara suami-istri, walau suami berada jauh dari rumh. Ada telepon, hand phone, bahkan internet yang bisa menembus jarak ribuan kilometre sekalipun. Menyempatkan menelepon istri dari kantor setiap hari pun banyak bermanfaat untuk mengantisipasi pendeknya waktu pertemuan suami-istri di rumah setiap harinya. 
Selain mejaga frekwensi pertemuan, begitu pula kualitasnya. Dalam sebuah riwayat dikisahkan bagaimana Rasulullah menyempatkan diri mencium istri-istrinya ketika hendak berangkat shalat ke masjid. Penuh keharmonisan, bukan? 
Bantu Pekerjaan Istri 
Sesekali menyempatkan diri menggoreng telur untuk sarapan, menyeterika kemeja sendiri, menyiram halaman, kenapa tidak? Apaalgi jika pekerjaan-pekerjaan rumah tangga tersebut dikerjakan bersama-sama istri, bukankah akan menambah keharmonisan? 
Mengenai kebiasaan Rasulullah di rumahnya, Aisyah ra bercerita, "Beliau selalu membantu urusan rumah tangga. Dan apabila datang waktu shalat, beliau langsung bergegas untuk melaksanakannya." (HR Bukhari) 
Dorong Istri Kembangkan Potensi 
Hafshah ra, secara khusus didorong oleh Rasulullah untuk mengembangkan keahliannya dalam tulis menulis indah. Beliau mendatangkan guru khusus bagi istrinya itu. Untuk Aisyah yang pandai, beliau mendorong agar istrinya itu mengembangkan potensi kecerdasan yang dimilikinya sehingga kelak menjadi salah seorang ahli hadis dan ahli ilmu agama sehingga menjadi guru bagi sahabat lain. Istri yang lain, Zainab, mengaktualisasikan dirinya sebagai usahawan home industri dengan memanfaatkan keahliannya membuat kerajinan tangan. Dari hasil usahanya itu Zainab mampu berinfaq paling banyak disbanding istri-istri yang lain. 
Jalin Ikatan Batin dengan Anak 
Tak ada alasan untuk tidak ikut campur urusan pendidikan anak. Urusan yang satu ini bukan semata tanggung jawab ibu, tetapi juga ayah. Sesibuk-sibuknya Rasulullah saw, beliau senantiasa bergaul dekat dengan putri-putrinya, sehingga Fatimah, putri terakhir yang paling beliau cintai, sepeninggal ibundanya Khadijah ra, menjadi anak yang melayani kebutuhan sehari-hari ayahnya, sekaligus pengganti istri, sebagai teman, sebagai penghibur, sekaligus sebagai kader dakwah, dan menjadi orang yang paling dekat di hati ayahandanya. Begitulah teladan Nabi Muhammad yang berhasil menjalin ikatan batin dengan putrinya, walau sibuk dengan urusan dakwahnya. 
Kenalkan Anak pada Dunia Kerja Ayah 
Kiat terbaik untuk menyiasati sedikitnya waktu berkumpul antara ayah dengan anak adalah saling melibatkan diri ke dalam dunia masing-masing. Ayah melibatkan diri dalam dunia bermain anak, ketika ada sedikit waktu di rumah. Sebaliknya ayah mengenalkan dunia kerjanya kepada anak. Seperti yang dilakukan nabi Muhammad, ketika membawa Fatimah kecil bersamanya ketika berdakwah di Mekah. Fatimah kecil melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaiman ayahnya dihina, dicerca dan dimaki-maki orang kafir Quraisy. Ketika mereka meletakkan kotoran binatang di punggung nabi saat sedang bersujud di depa Ka'bah, Fatimah-lah yang membersihkannya dengan berlinang air mata. 
Sekali-sekali membawa anak ke kantor, mengenal alat-alat kerja yang ada di sana, dan mengetahui apa yang dikerjakan ayahnya sepanjang hari, tidakkah itu bisa dilakukan untuk mengakrabkan ayah dan anak?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar