klik pasti untung

Selasa, 08 Maret 2011

Berpenampilan Ala Mukminat



Bapak Pengasuh yang kami hormati,
Saya mahasiswi yang kuliah di perguruan tinggi swasta. Sehari-hari saya bergaul dengan banyak teman pria maupun wanita. Tak dapat dihindari, begitu juga di dalam kelas, kami masih harus membentuk kelompok diskusi, kelompok kerja dan penelitian yang campur baur antara teman pria dan wanita.
Dalam keadaan seperti ini, saya berusaha sebisa mungkin untuk menjaga agar tidak terlalu jauh bergaul dengan teman laki-laki. Tetapi, bolehkah jika saya berusaha tampil rapi dan menarik walaupun bukan untuk tujuan mencari perhatian? Salah seorang teman mengatakan bahwa tindakan menata penampilan adalah termasuk tabarruj yang dilarang Islam. Benarkah pendapat ini? Apakah berpenampilan dengan busana muslim aneka warna serta beragam model pun dikategorikan tabarruj?
Ww di Jb
JAWAB:
Ukhti Ww yang disayang Allah,
Alhamdulillah, ukhti telah terpilih menjadi salah seorang hamba Allah yag diberi kesempatan menggali ilmu di tempat yang baik. Dan manakala ada tantangan yang anda temui, anda telah berusaha kembali kepada aturan Al Qur'an dan As Sunnah.
Tabarruj, artinya menyingkap atau mempertontonkan. Hukumnya haram bagi perempuan. Imam Zamakhsyari berpendapat, “tabarruj berarti membuat-buat, menampakkan sesuatu yang harus disembunyikan.” Kemudian ditambahkannya keterangan, “membuat-buat dan maksud menampakkan sesuatu perhiasan yang seharusnya ditutupi”.
Apa yang dimaksud dengan `sesuatu' tersebut? Bisa jadi anggota tubuh, perhiasan, gerak tubuh atau suara. Batasan bagi seorang perempuan dikatakan tabarruj atau tidak, telah diatur oleh syariah Islam. Diantara batasan-batasan tersebut yang pertama adalah menundukkan pandangan.
Maksudnya, seorang perempuan shalihah seharusnya memelihara rasa malunya dengan baik. Menundukkan pandangan apabila bertemu dengan laki-laki. Berbicara seperlunya saja, dan usahakan tidak memandang langsung ke wajah lawan bicara. Hal ini difirmankan Allah, “Dan katakanlah kepada perempuan-perempuan yg beriman, hendaklah mereka menundukkan pandangan mereka.”
Batasan kedua adalah tidak bercampur baur dengan lelaki. Tindakan ukhti untuk berusaha menjaga pergaulan dengan teman laki-laki di tempat kuliah pun sudah benar. Menghindari pertemuan yang tak perlu dengan teman laki-laki bisa diupayakan, Jika harus berada di satu tempat, usahakan tidak bersentuhan.
Rasulullah pernah bersabda, “Jika seseorang di antaramu ditusuk kepalanya dengan jarum, itu masih lebih baik daripada menyentuh perempuan yg tidak halal baginya.” Bagaimana dengan berjabat tangan, berdesakan di angkutan umum, di swalayan dan bioskop? Semuanya itu harus dihindari semaksimal mungkin.
Ketiga, muslimah harus berpakaian sesuai syara'. Yang dimaksud aturan tersebut, seperti menutup seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan. Seperti difirmankan Allah dalam surat An Nur 30, bahwa yang diperbolehkan terlihat hanyalah “yang tampak darinya”, menurut pendapat yang paling rajih dimaksudkan adalah muka dan telapak tangan.
Begitu juga dengan menyembunyikan apa yang ada di balik baju, agar tak nampak baik secara transparan maupun jelas. Mengenai hal ini Nabi bersabda, “Di antara penduduk neraka adalah perempuan yang berbaju tetapi telanjang, dan berlenggak-lenggok menggoda. Mereka tidak masuk surga dan tidak pula mencium baunya.”
Pakaian tipis dan transparan, adalah termasuk katagori ini. Perempuan-perempuan bani Tamim, menemui `Aisyah ra dengan mengenakan pakaian tipis. Rasulullah saw pun menegur, “Kalau kalian perempuan-perempuan mukminat, bukan ini pakaian perempuan mukminat.”
Pernah pula bertemu `Aisyah dengan seorang pengantin yang berkerudung tipis dan transparan. Maka beliaupun bersabda pula, “Tidaklah dikatakan beriman kepada surat An Nur, perempuan yg mengenakan kerudung ini.”
Syariah juga melarang untuk menonjolkan bagian tubuh yang menarik. Banyak perempuan mengenakan pakaian panjang, namun ketat dan terbelah, sehingga masih memperlihatkan payudara, pantat dan betis. Alhasil justru model seperti ini yang lebih memancing birahi laki-laki , yang diharamkan oleh Islam.
Pakaian itu tidak boleh seperti pakaian khusus laki-laki. Hal ini disebabkan karena Rasulullah saw melaknat perempuan menyerupai laki-laki dan sebaliknya laki-laki menyerupai perempuan, sesuai kebiasaan yg berlaku di tempat dan saat tersebut. Dan pakaian itu pun tidak menyerupai pakaian khas orang kafir, Yahudi maupun Nasrani. Muslimah harus memiliki ciri khas sendiri, termasuk dalam hal berpakaian.
Batasan keempat dari syariah menghindari tabarruj adalah keharusan menjaga suara.Dalam hal bersuara di hadapan laki-laki , hendaklah seorang perempuan berkata dengan tegas, singkat dan jelas. Tidak perlu dengan suara yang dibuat-buat, dilembut-lembutkan, atau suara lincah, nakal serta menggoda. Diterangkan Allah dalam surat Al Ahzab 32, “Karena itu, janganlah kalian merendahkan suara, sehingga orang-orang yang dalam hatinya ada penyakit jadi tergoda.”
Terakhir, baru dikatakan tabarruj jika seseorang menarik perhatian dengan sengaja. Misalnya dengan cara membunyikan perhiasan. Kebiasaan kaum perempuan, mereka suka menghiasi pergelangan kakinya dengan kalung kecil yang bergemercining jika kaki dihentakkan, juga menghiasi pergelangan tangan dengan sederetan gelang yang berbunyi jika tangan digerakkan. Memakai perhiasan seperti ini diperbolehkan, tetapi terlarang untuk sengaja membunyikannya agar orang tahu perhiasan yang disembunyikan tersebut.
Memakai minyak wangi dengan berlebihan, juga digolongkan mencari perhatian. Sesuai syara', muslimah diperbolehkan memakai minyak wangi yang kuat warnanya, tetapi tidak menonjolkan wanginya. Itupun hanya disunnahkan untuk ke masjid saja. Jika dikenakannya dimaksudkan untuk menghilangkan bau badan, maka cukuplah baunya tercium dirinya sendiri. Tentang hal ini Rasulullah saw bersabda,”Perempuan manapun yang menggunakan minyak wangi kemudian lewat di depan suatu kaum agar mereka mencium baunya, ia adalah wanita penzina.”

Ayah, Antara Dakwah dan Keluarga



Kesibukan dakwah bukan kambing hitam untuk lepas tangan dari urusan keluarga dan rumah tangga. Yang diperlukan adalah keahlian mengatur manajemen kehidupan para ayah.
"Saya mengasuh sendiri kesembilan anak-anak saya. Ayahnya sibuk berdakwah. Sekalipun tak pernah sempat ia menunggui kelahiran putra-putranya," kata kenalan baru saya, seorang ibu berjilbab dengan nada penuh kebanggaan. Kami memang sedang membicarakan perjalanan perjuangan keluarga kami masing-masing.
Teman baru tadi meneruskan ceritanya, "Saya ingin meneladani Siti Hajar, yang ditinggal Ibrahim as seorang diri merawat bayi Ismail hingga tumbuh menjadi kanak-kanak yang sholeh." Subhanallah, sungguh mulia cita-cita teman saya ini. Karena cita-citanya itulah ia tak pernah mau mengganggu aktifitas dakwah suaminya dengan urusan anak-anak. Ke-sembilan anaknya pun sudah tak lagi memiliki perasaan rindu jika ditinggal sang ayah, karena tak adanya ikatan batin antar ayah dengan anak-anaknya.
Mudah-mudahan, batinku dalam hati, keinginannya meneladani Siti Hajar bisa tercapai. Namun, benarkah kita harus meneladaninya semirip itu? Jangan-jangan nantinya kita paksakan ayah untuk berpisah dengan anaknya tanpa alasan, gara-gara ingin meneladani kisah ajaib Siti Hajar dengan sama persis.
Tentunya tidak harus sama persis seperti itu kisah hidup manusia-manusia di muka bumi ini, bukan? Kisah kehidupan Ismail as adalah scenario khusus Allah yang tak bisa diikuti oleh orang sembarangan. Kalau Nabi Muhammad saw lahir dalam keadaan yatim, haruskah anak-anak kita mengalami pula hal yang persis serupa?
Melalui Al Qur'an dan teladan Rasulullah, telah digariskan batasan-batasan tanggung jawab seorang ayah terhadap keluarganya, tanpa mengganggu aktifitas dakwah perjuangannya. Inilah yang harus kita teladani dalam kehidupan sehari-hari. Namun kita pun mempersiapkan diri jika dalam satu kondisi tertentu, sikap Siti Hajar-lah yang harus kita contoh. Bukankah begitu penyelesaian terbaik? Lantas bagaimana dengan teman saya yang (hanya) ingin meneladani Siti Hajar tadi?
Siapakah yang berani mengklaim dirinya lebih repot, lebih susah dan lebih banyak ujiannya dalam dakwah melebihi yang dialami oleh Rasulullah saw? Namun ternyata bersamaan dengan jadwal dakwah beliau yang super padat itupun beliau menyempatkan diri senantiasa berinteraksi dengan keluarga, bahkan mengambil peran yang cukup besar pula di sana.
Manajemen pengelolaan waktu yang dilakukan Rasulullah patut pula diteladani. Dalam keterbatasan waktu yang ada Rasulullah senantiasa menjalin komunikasi dan keharmonisan serta membantu pekerjaan istri-istrinya. Kini, di jaman yang jauh lebih maju dari pada jaman kehidupan Rasulullah, dimana alat telekomunikasi dan transportasi sudah super canggih, masihkah pantas jika para ayah, para da'I, lepas tangan dari urusan rumah tangga dengan kesibukan dakwah yang dijadikan sebagai kambing hitamnya?
Pendidikan anak, jangan dikira hanya urusan ibu. Apa maksud Allah mencantumkan dialog pendidikan antara Luqman Al Hakim dengan anaknya? Tentu saja, Allah berkehendak menegaskan besarnya tanggung jawab ayah dalam mendidik anak Penemuan ilmu pengetahuan sekarang pun membuktikan, anak-anak yang memperoleh bimbingan aktif dari ayahnya, lebih berkembang kemampuan intelegensia maupun mentalnya disbanding mereka yang hanya diasuh aktif oleh ibunya.
 

Menyeimbangkan Dakwah dan Keluarga 

Jadwal Dakwah yang padat, yang mengharuskan seorang ayah lebih banyak berada di luar rumah, berkonsentrasi penuh di dalamnya, memang tidak seharusnya dihindari. Yang perlu dilakukan adalah menata ulang manajemen pengelolaan waktu, sehingga dengan sedikit waktu yang ada semua tujuan bisa tercapai. Bagaimana kiatnya? 
Jaga Keharmonisan & Komunikasi 
Secara rutin dan penuh keadilan, Rasulullah secar teratur menggilir hari dimana beliau bermalam dari satu rumah ke rumah istri yang lain. Namun dalam sehari tersebut, beliau tetap menyempatkan diri untuk berkeliling menemui semua istri dari satu rumah ke rumah yang lain, setidaknya untuk menanyakan kondisi mereka pada hari itu.. 
Hal serupa ini dapat diteladani di jaman sekarang dengan tetap menjaga terjalinnya komunikasi antara suami-istri, walau suami berada jauh dari rumh. Ada telepon, hand phone, bahkan internet yang bisa menembus jarak ribuan kilometre sekalipun. Menyempatkan menelepon istri dari kantor setiap hari pun banyak bermanfaat untuk mengantisipasi pendeknya waktu pertemuan suami-istri di rumah setiap harinya. 
Selain mejaga frekwensi pertemuan, begitu pula kualitasnya. Dalam sebuah riwayat dikisahkan bagaimana Rasulullah menyempatkan diri mencium istri-istrinya ketika hendak berangkat shalat ke masjid. Penuh keharmonisan, bukan? 
Bantu Pekerjaan Istri 
Sesekali menyempatkan diri menggoreng telur untuk sarapan, menyeterika kemeja sendiri, menyiram halaman, kenapa tidak? Apaalgi jika pekerjaan-pekerjaan rumah tangga tersebut dikerjakan bersama-sama istri, bukankah akan menambah keharmonisan? 
Mengenai kebiasaan Rasulullah di rumahnya, Aisyah ra bercerita, "Beliau selalu membantu urusan rumah tangga. Dan apabila datang waktu shalat, beliau langsung bergegas untuk melaksanakannya." (HR Bukhari) 
Dorong Istri Kembangkan Potensi 
Hafshah ra, secara khusus didorong oleh Rasulullah untuk mengembangkan keahliannya dalam tulis menulis indah. Beliau mendatangkan guru khusus bagi istrinya itu. Untuk Aisyah yang pandai, beliau mendorong agar istrinya itu mengembangkan potensi kecerdasan yang dimilikinya sehingga kelak menjadi salah seorang ahli hadis dan ahli ilmu agama sehingga menjadi guru bagi sahabat lain. Istri yang lain, Zainab, mengaktualisasikan dirinya sebagai usahawan home industri dengan memanfaatkan keahliannya membuat kerajinan tangan. Dari hasil usahanya itu Zainab mampu berinfaq paling banyak disbanding istri-istri yang lain. 
Jalin Ikatan Batin dengan Anak 
Tak ada alasan untuk tidak ikut campur urusan pendidikan anak. Urusan yang satu ini bukan semata tanggung jawab ibu, tetapi juga ayah. Sesibuk-sibuknya Rasulullah saw, beliau senantiasa bergaul dekat dengan putri-putrinya, sehingga Fatimah, putri terakhir yang paling beliau cintai, sepeninggal ibundanya Khadijah ra, menjadi anak yang melayani kebutuhan sehari-hari ayahnya, sekaligus pengganti istri, sebagai teman, sebagai penghibur, sekaligus sebagai kader dakwah, dan menjadi orang yang paling dekat di hati ayahandanya. Begitulah teladan Nabi Muhammad yang berhasil menjalin ikatan batin dengan putrinya, walau sibuk dengan urusan dakwahnya. 
Kenalkan Anak pada Dunia Kerja Ayah 
Kiat terbaik untuk menyiasati sedikitnya waktu berkumpul antara ayah dengan anak adalah saling melibatkan diri ke dalam dunia masing-masing. Ayah melibatkan diri dalam dunia bermain anak, ketika ada sedikit waktu di rumah. Sebaliknya ayah mengenalkan dunia kerjanya kepada anak. Seperti yang dilakukan nabi Muhammad, ketika membawa Fatimah kecil bersamanya ketika berdakwah di Mekah. Fatimah kecil melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaiman ayahnya dihina, dicerca dan dimaki-maki orang kafir Quraisy. Ketika mereka meletakkan kotoran binatang di punggung nabi saat sedang bersujud di depa Ka'bah, Fatimah-lah yang membersihkannya dengan berlinang air mata. 
Sekali-sekali membawa anak ke kantor, mengenal alat-alat kerja yang ada di sana, dan mengetahui apa yang dikerjakan ayahnya sepanjang hari, tidakkah itu bisa dilakukan untuk mengakrabkan ayah dan anak?

Anatomi Jiwa Ulama


Rasa takut kepada Allah dan kemuliaan akhlaq kepada semua makhluk merupakan kekayaan utama para ulama. Lalu mengapa ada ulama jahat?
Di masa Rasulullah belum ada orang yang disebut ulama, walaupun para sahabat Baginda Nabi Muhammad Salallaahu 'alaihi wa salam banyak yang faqih di bidang agama. Ali bin Abi Thalib, misalnya adalah seorang yang sangat 'alim, yang karena ketinggian ilmunya disebut-sebut Rasulullah sebagai baabul 'ilmi, pintunya ilmu setelah menyebut dirinya sebagai gudangnya ilmu.
Ibnu Mas'ud adalah seorang ahli tafsir. Ia sangat faham isi al-Qur'an. Bahkan pada masa Rasulullah masih hidup, ia sering diminta untuk membacakan ayat al-Qur'an agar diengar oleh Rasulullah. Suaranya yang merdu dan penghayatannya yang mantap, menjadikan Rasulullah menangis hingga meleleh air matanya membasahi pipinya.
Ibnu Abbas juga demikian. Meskipun ia sangat belia ketika bersama Rasulullah, tapi kecerdasannya sudah diakui. Bakat keulamaannya sudah dilihat, bahkan disampaikan Rasulullah kepada sahabat lainnya. Meskipun demikian, mereka semua tidak pernah disebut-sebut sebagai ulama, karena sebutan "sahabat Rasulullah" itu jauh lebih tinggi dan mulia dibandingkan dengan sebutan ulama.
Menyadari arti pentingnya ulama, sejak awal Rasulullah telah menyiapkan lembaga pendidikan khusus buat mereka. Mereka ditempatnya di serambi masjid yang setiap saat bisa mendengarkan langsung khutbah, ceramah, dan dialog-dialog Rasulullah yang lebih banyak dilakukan di mesjid. Rasulullah secara khusus juga mengajar mereka.
Adalah Abu Hurairah, seorang sahabat yang bergabung dalam barisan Islam hampir pada masa-masa akhir kehidupan Rasulullah. Akan tetapi karena intensitasnya bertemu dengan Rasulullah di masjid dan dalam pertemuan-pertemuan lainnya, maka dari dirinya terkumpul ribuan hadits. Ia adalah perawi hadits yang sangat produktif. Hal itu sangat dimungkinkan karena setelah keislamannya, Abu Hurairah mengabdikan sepenuhnya pada ilmu dengan cara hidup di serambi masjid Nabawi sebagai ahlus-suffah.
Jika pada masa sahabat sudah banyak orang yang layak disebut sebagai ulama, meskipun tak pernah menyandang gelar ulama, maka pada masa tabi'in lebih banyak lagi orang yang alim di bidang agama. Demikian juga pada masa tabi't-tabi'in, jumlah orang yang alim menjadi belipat ganda. Mereka itulah yang kemudian dikenal dalam khazanah islam sebagai ulama salaf, sedangkan para ulama yang terlahir setelah priode-priode awal itu disebut sebagai ulama khalaf. Sebutan salaf dan khalaf tidak lebih dari sekadar istilah yang membedakan mereka dari segi waktu saja.
Meskipun demikian, karena kedekatannya dengan masa Rasulullah, perbedaan waktu itu akhirnya juga menjadi sangat penting. Yang berarti bahwa ulama salaf lebih memiliki otoritas dibandingkan dengan ulama khalaf.
Para ulama, baik yang salaf maupun yang khalaf mempunyai kedudukan khusus di masyarakat. Meskipun mereka tidak memiliki otoritas dalam kekuasaan tapi pengaruh mereka sangat kuat. Bisa dikatakan bahwa mereka adalah pemimpin informal, bahkan pada saat-saat tertentu mereka disebut sebagai penguasa bayangan.
Posisi strategis ulama inilah yang seringkali menjadi ajang perebutan. Para penguasa di segala zaman selalu menarik ulama mendekati kekuasaan. Ada yang berhasil direkrut dan dijadikan alat kekuasaan. Tapi tidak sedikit di antara mereka yang lebih berhati-hati dengan cara mengambil jarak dengan kekuasaan. Sebagian lagi lebih suka menjadi oposan, yang selalu mengambil jalan yang berseberangan dengan kekuasaan.
Ketiga kelompok itu mempunyai alasan masing-masing, sebab jauh dekatnya mereka dari kekuasaan bukan hal yang subtantif. Yang subtansif adalah, apakah mereka, baik yang mengambil jalan mendekat atau menjauh dengan kekuasaan itu telah menjalankan fungsinya sebagai ulama? Apakah dengan kedekatan atau kejauhan mereka itu bisa menjalankan missinya sebagai ulama?
Rasulullah ketika meninggal dunia tidak mewariskan apa-apa, kecuali ilmu kepada ummatnya. Para ulama, yaitu orang-orang yang banyak memperoleh ilmu yang diajarkan Rasulullah, disebut sebagai pewaris nabi. Hadits nabi juga menyebutnya demikian, "al-'Ulama'u waratsatul anbiyaa, para ulama itu adalah pewaris para nabi."
Kekayaan Jiwa
Ulama tidak identik dengan orang yang pandai di bidang agama. Memang penguasaan ilmu menjadi syarat mutlak bagi seorang ulama, namun demikian integritas dan moralitas justru menjadi hal yang paling utama. Ada dua karakter kejiwaan yang mutlak dimiliki seseorang yang menjadi pewaris Nabi. Pertama, rasa takutnya yang hanya kepada Allah melebihi rasa takut yang dimiliki kaumnya. Kedua, keluhuran akhlaq ulama kepada makhluk Allah melebihi siapapun di antara kaumnya.
Seperti diketahui bahwa ulama adalah pewaris para Nabi. Ilmu harus diamalkan, dan bagi ulama setiap amal itu disertai dengan perasaan takut kepada Allah swt.
"Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-Nya hanyalah para ulama." (Faathir: 28)
Rasa takut itu membuat ketaatan para ulama, kecintaannya, serta ketekunannya menjalankan perintah Allah dan semangat menjauhi larangan-Nya melebihi yang dimiliki kaumnya.
Selain mewarisi ilmunya, ulama juga mewarisi tugas utamanya. Dalam kaitan ini Rasulullah pernah bersabda:
"Sesungguhnya aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia." (HR Al-Bazzar)
Tugas utamanya para nabi adalah menyempurnakan akhlaq. Bagaimana seorang ulama bisa menjalankan tugas ini jika mereka sendiri tidak sempurna akhlaqnya? Di sini persoalan integritas dan moralitas menjadi sesuatu yang paling utama. Bagi seorang ulama, antara penguasaan ilmu dan akhlaq tidak bisa dipisahkan.
Merupakan musibah yang teramat besar jika ummat Islam mengangkat atau memposisikan seseorang sebagai ulama, sementara integritas dan moralitasnya masih dipertanyakan. Seleksi pertama para Ulama adalah moralitasnya, karena posisinya sebagai suluh dan obor masyarakat.
Para pengikut agama samawi (Yahudi dan Nasrani) terdahulu menolak Islam bukan karena kebodohan mereka, bukan pula karena rusaknya akal pikiran. Mereka tidak menerima ajaran Islam semata-mata karena kejahatan para ulama ahlul kitab. Mereka menyembunyikan kebenaran untuk memperoleh sedikit keuntungan duniawi, baik berupa materi, pengaruh, atau kepentingan sesaaat lainnya.
Kejahatan para ulama ahlul kitab itu dinyatakan oleh Allah dalam al-Qur'an:
"Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang diberi al-Kitab (yaitu): Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan janganlah kamu menyembunyikannya," lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka dan mereka menukarkannya dengan harga yang sedikit. Amat buruklah tukaran yang mereka terima." (Ali Imraan: 187)
Pada ayat yang lain Allah berfirman:
"Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu al-Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak mensucikan mereka dan bagi mereka siksa yang amat pedih. Mereka itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk dan siksa dengan ampunan. Maka alangkah beraninya mereka menantang api neraka." (al-Baqarah: 174 ? 175)
Bagi Allah, dunia dan segala isinya itu tidak ada harganya. Artinya, biarkan seseorang memperoleh dunia dan segala isinya dengan cara menjual agama, tetap akan dikatakan menjual agama dengan harga sedikit. Apalagi jika yang diperolehnya itu sekedar lembaran rupiah atau jabatan tertentu dalam sebuah struktur kekuasaan. Sungguh tak bernilai apa-apa di sisi Allah. Perhatikan hadits berikut ini:
"Perbandingan dunia dengan akhirat itu seperti seorang yang mencelupkan jari tangannya ke permukaan laut lalu diangkatnya dan dilihatnya apa yang diperolehnya." (HR Muslim dan Ibnu Majah)
Dalam hadits lain disebutkan bahwa seandainya di sisi Allah dunia dan seisinya itu lebih bernilai dari seekor lalat, maka kaum kafir tidak akan mendapatkan bagian sedikitpun dari dunia. Hal ini berarti bahwa imbalan dunia sebesar apapun tak bisa ditukarkan dengan agama. Penukaran itu bernilai sangat murah. Hanya orang-orang yang bodoh saja yang mau menukarkan ayat-ayat Allah dengan dunia.
Mengapa ada yang dibenci?
Dalam kenyataannya, justeru tidak sedikit di antara para ulama yang menjual ayat-ayat Allah. Dalam sejarah kita saksikan jumlah mereka sangat banyak, terutama mereka yang menjual dirinya kepada para penguasa. Tugas mereka tidak lain kecuali membenarkan setiap kebijakan penguasa. Tukang stempel, pembenar atas semua kehendak raja.
Sikap dan perilaku para ulama semacam itulah yang menjadikan Karl Marx bangkit dengan kebencian yang luar biasa kepada agama. Agama dipandangnya tidak lebih dari sekadar candu atau opium bagi masyarakat. Dengan agama yang dalam hal ini direpresentasikan oleh para pendeta, rakyat tetap tanang meskipun didzalimi dan dianiaya oleh penguasa dan para pemilik modal.
Ulama seperti ini selalu saja ada pada setiap zaman dan periode pemerintahan. Sejak dulu hingga sekarang. Tidak saja menimpa pada ulama ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani), tapi juga pada Ulama Islam. Mereka adalah budak budak para penguasa, yang selalu siap membela tuannya dengan bahasa agama.
Sepintas sulit dibedakan antara ulama yang benar dengan ulama jahat seperti ini, karena keduanya sama-sama menyitir ayat untuk membenarkan perbuatannya. Akan tetapi orang segera tahu mana yang jahat dan mana yang benar jika yang dinilai adalah sikap dan perilakunya. Integritas dan moralitasnya. Di sini akan nampak sekali perbedaan antara keduanya.
Ulama yang jahat akan membela mati-matian tuannya, walaupun si tuan benar-benar telah berbuat dan berperilaku menyimpang. Apapun yang dilakukan tuannya adalah benar, dan selalu dicarikan pembenarannya. Mereka tidak saja sebagai "Pak Turut", tapi penganjur fanatisme. Seandainya pemimpinnya yang juga penguasa pada saat itu berkata bahwa langit berwarna merah, merekapun membenarkannya.
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa tidak jarang ulama yang mengajak ummatnya masuk ke jurang neraka dengan menggunakan bahasa agama. Jika setan dan para pengikutnya mengajak manusia ke neraka dengan bujukan, rayuan, dan ancaman, maka ulama model ini megajak manusia ke neraka dengan mengutip ayat dan hadits. Inilah yang diperingatkan oleh Allah:
"Sesungguhnya mereka memerintahkan kepadamu berbuat jahat dan keji, dan (memerintahkan) agar kamu sekalian mengucapkan atas nama Allah apa-apa yang kalian tidak mengetahuinya." (al-Baqarah: 169)
Masih saja dijumpai sampai saat ini ulama yang berapi-api mengutip ayat al-Qur'an dan hadits nabi untuk menghalalkan darah saudaranya sendiri. Mereka mengajak ummatnya untuk membenci kepada seorang Muslim dengan kebencian yang nyata. Tak tanggung-tanggung merekapun menghalalkan darah seseorang atas nama jihad. Padahal telah diketahui bahwa pembunuhan di antara kaum Muslimin merupakan perbuatan dosa, bahkan si pembunuh dan yang terbunuh sama-sama masuk neraka. Jika si terbunuh dan si pembunuh sama-sama masuk neraka, bagaimana dengan orang yang memerintahkan pembunuhan? Ulama ternyata tidak sedikit yang berperan ganda. Di satu sisi sebagai pemimpin ummat, di sisi lain sebagai provokator.
Pada khutbah terakhir di waktu hijjul wada, Rasulullah Saw berseru: "Sesungguhnya darah dan harta kalian adalah haram atas sesama kalian, sebagaimana haramnya hari kalian ini, pada bulan kalian ini, di negeri kalian ini".
Berbagai kerusuhan terjadi, mulai dari zaman Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, hingga sekarang ini selalu bermula dari provokasi para pemimpin agamanya. Yang satu berfatwa menghalalkan darah musuh politiknya, sementara yang lain juga melakukan hal yang sama. Inilah awal dari segala bencana. Kekerasan akhirnya menjadi satu-satunya pilihan untuk membela sang penguasa.
Bencana apalagi yang lebih besar dari musibah seperti ini? Ketika Ulama sudah beralih fungsi menjadi provokator, memanas-manaskan situasi yang sudah panas, maka terjadilah kekerasan, pemerkosaan hak, pemaksaan kehendak, dan kerusuhan massal. Sejarah mencatat berkali-kali peristiwa seperti ini.
Atas dasar catatan sejarah dan kenyataan yang ada saat ini, banyak di antara kaum Muslimin yang akhirnya dihinggapi fobia jika melihat ulamanya berpolitik. Posisi ulama yang sangat strategis di tengah masyarakat seringkali diselewengkan untuk kepentingan-kepentingan sesaat, yaitu membela penguasa yang tak ada jaminan kebenarannya. Mereka beralih dari membela yang benar menjadi membela yang membayar.
Dalam al-Qur'an dijumpai berbagai perumpamaan. Ulama yang menguasai ilmu agama, selalu bicara atas nama agama, tapi tidak mengamalkannya, karena lebih condong kepada dunia dan menuruti hawa nafsunya, dimisalkan al-Qur'an sebagai anjing. Sebagaimana firman Allah:
"Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan memperturutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing. Jika kamu menghalau, diulurkan lidahnya, dan jika kamu membiarkannya ia mengulurkan lidahnya juga. Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir." (al-A'raaf: 176)

"AKU INGIN MEREKA JADI INTELEKTUAL ISLAM



Sedari dini ketiga anaknya telah dikenalkan pada ajaran Islam. Namun ia belum memberlakukan kewajiban-kewajiban tertentu pada mereka.
"Jikapun mereka ingin mengikuti jejak saya, syaratnya harus lebih hebat dari saya," kata "motor" kelompok band Dewa 19 ini, Dhani Ahmad Prasetyo (28). Namun, ia tetap berharap ketiga buah hatinya: Al-Ghazali (3,5), El Jalaludin Rumi (1,5), dan Abdul Qodir Jaelani (6 bln), kelak mau menjadi intelektual Islam.
Keinginan itu muncul setelah ia melihat intelektual Islam di negeri kita masih amat sedikit. "Orang-orang kita yang khusus berkecimpung di dunia Islam, kan, masih relatif sedikit. Padahal, untuk memajukan Islam hanya bisa terlaksana oleh orang Islam itu sendiri karena Islam takkan bisa maju jika umat Islamnya pun tak maju," jelas suami dari Maya Estianty (24) ini.
TAK KE SEKOLAH UMUM
Meski keinginan tersebut begitu kuat, toh, Dhani belum ingin menggodok anak-anaknya dengan kewajiban-kewajiban tertentu. "Belum saatnya mereka diberikan pendidikan khusus atau wajib. Untuk saat ini biarkan mereka berkembang bebas layaknya anak-anak lain seusia mereka. Kan, dengan begitu mereka bisa memanfaatkan masa kecilnya sebaik mungkin, entah bermain, bergaul dengan teman, ataupun bermanja-manja dengan orang tua."
Menurutnya, bila anak terpuaskan masa kecilnya, kelak saat tiba waktunya untuk serius menuntut ilmu, takkan terganggu lagi atau takkan tergoda lagi untuk melakukan hal-hal yang tak sepantasnya mereka lakukan di usia itu. Mereka pun tak ada alasan untuk sibuk main atau merasa kurang perhatian orang tua.
Bukan berarti ia sama sekali tak melakukan persiapan, lo. Ia malah sudah menentukan sekolah mana yang akan jadi tempat menuntut ilmu bagi anak-anaknya. "Mereka tak akan sekolah di sekolah umum, melainkan di sekolah yang ajaran Islamnya lebih banyak, seperti pesantren."
Ia pun mengenalkan anak-anaknya pada ajaran Islam, seperti salat lima waktu, mengaji, dan berdoa. "Pokoknya, semua nilai-nilai keislaman, saya kenalkan pada mereka sejak dini. Tapi hanya sebatas mengenalkan, lo, belum mewajibkan." Adapun caranya dengan memberi contoh langsung, misal, saat tiba waktu salat, ia ajak anak-anaknya untuk bersama-sama melakukan salat jamaah.
Ia sadar, sebagai orang tua, dirinya harus jadi panutan buat anak. "Jadi, sebelum menyiapkan mereka, saya juga menyiapkan diri sendiri dengan cara memperdalam ilmu keagamanan. Selain agar tak terlihat bodoh di depan anak-anak, juga agar saya tahu bagaimana mengurus dan mendidik anak secara Islami."
TAK MEMUKUL ANAK
Dhani juga kerap memberi masukan tentang nilai-nilai kebaikan, seperti tak boleh nakal sama teman, kakak, adik, atau orang lain. Nilai-nilai ini langsung diberikan kala anak-anaknya berbuat nakal. "Jadi, jangan ditunda diberikan di lain hari." Misal, kala si sulung menakali adiknya, Dhani akan menegurnya saat itu juga, "Ghazali, kamu enggak boleh begitu, dong, sama adik. Kasihan, kan, ia kesakitan. Coba kalau kamu yang alami sendiri, bagaimana? Justru sebagai kakak, kamu yang harus jaga adik."
Namun, se"nakal" apa pun mereka, ia mengaku tak pernah memarahi apalagi memukul. "Buat apa? Itu nggak menyelesaikan masalah, kok. Lagi pula, itu juga tak berguna dan tak baik buat anak." Menurutnya, anak balita tak tahu apakah perbuatannya itu baik atau nakal. "Yang bilang perbuatan anak itu nakal, kan, kita-kita ini orang dewasa. Mungkin saja maksud si anak hanya sekadar bercanda atau ingin diperhatikan." Jadi, ia lebih suka memberi pengertian atau melarang.
Selain itu, ia pun mengajari anak-anaknya agar tak egois. "Memang, anak balita masih egois. Justru karena itu kami selalu ajari mereka agar tak mementingkan kebutuhannya sendiri, karena orang lain pun pasti punya kepentingan dan kebutuhan." Itulah mengapa, ia juga mengajarkan tak semua keinginan bisa terpenuhi. Misal, kala si sulung rewel gara-gara hendak ditinggal pergi tur bersama Dewa 19, ia jelaskan bahwa kepergiannya untuk kerja bukan untuk main.
BERMAIN SAMA ANAK
Dhani merasa dirinya belum menjadi orang tua yang baik bagi ketiga buah hatinya. Lantaran kesibukannya sebagai musisi yang harus melakukan tur, latihan rutin bersama Dewa 19, ataupun mencipta lagu, hingga ia tak terlalu jauh terlibat dalam pengurusan anak-anaknya. "Paling aku hanya mengajak mereka main atau jalan-jalan. Mainnya pun paling banyak dilakukan di rumah, misal, dengan menonton VCD, atau di studio sambil ngeliatin ayahnya latihan," akunya.
Saat main bersama anak-anaknya inilah, dirasakan Dhani sebagai saat yang paling menyenangkan. "Ada perasaan senang dan bangga yang tak bisa digambarkan, sebab hanya bisa dipahami dan dirasakan oleh mereka yang telah mempunyai anak." Bahkan, untuk menuangkannya ke dalam lagu pun, ia tak bisa. Saking bahagianya, ya, Pak!