klik pasti untung

Senin, 07 Maret 2011

Menyambut Peringatan Hari Anak Nasional 23 Juli 2016


Menyambut Peringatan Hari Anak Nasional 23 Juli 2004



Saya buka kembali buku hidup saya, sebagai bahan perenungan bagi para ORANG TUA...

Tahun  2002 yang lalu saya harus mondar-mandir ke SD Budi Mulia Bogor. Anak
sulung  kami  yang bernama Dika, duduk di kelas 4 di SD itu. Waktu itu Saya
memang  harus  berurusan  dengan  wali  kelas  dan kepala sekolah. Pasalnya
menurut  observasi  wali kelas dan kepala sekolah, Dika yang Duduk di kelas
unggulan, tempat penggemblengan anak-anak berprestasi itu, waktu itu justru
tercatat sebagai anak yang bermasalah.

Saat  saya  tanyakan  apa  masalah  Dika,  guru  dan  kepala sekolah justru
menanyakan  apa  yang terjadi di rumah sehingga anak tersebut selalu murung
dan menghabiskan sebagian besar waktu belajar di kelas hanya untuk melamun.

Prestasinya  kian  lama  kian  merosot.  Dengan  lemah lembut saya tanyakan
kepada Dika "Apa yang kamu inginkan ?" Dika hanya menggeleng.

"Kamu ingin ibu bersikap seperti apa ?" tanya saya
"Biasa-biasa saja" jawab Dika singkat.

Beberapa  kali  saya  berdiskusi dengan wali kelas dan kepala sekolah untuk
mencari  pemecahannya,  namun  sudah sekian lama tak ada kemajuan. Akhirnya
kamipun sepakat untuk meminta bantuan seorang psikolog.

Suatu  pagi,  atas  seijin  kepala sekolah, Dika meninggalkan sekolah untuk
menjalani  test  IQ.  Tanpa  persiapan apapun, Dika menyelesaikan soal demi
soal dalam hitungan menit.

Beberapa   saat  kemudian,  Psikolog  yang  tampil  bersahaja  namun  penuh
keramahan   itu  segera  memberitahukan  hasil  testnya.  Angka  kecerdasan
rata-rata  anak  saya  mencapai  147  (Sangat  Cerdas)  dimana  skor  untuk
aspek-aspek  kemapuan  pemahaman  ruang,  abstraksi,  bahasa,  ilmu  pasti,
penalaran, ketelitian dan kecepatan berkisar pada angka 140 - 160. Ada satu
kejanggalan,  yaitu  skor  untuk  kemampuan  verbalnya tidak lebih dari 115
(Rata-Rata Cerdas).

Perbedaan  yang mencolok pada 2 tingkat kecerdasan yang berbeda itulah Yang
menurut  Psikolog,  perlu dilakukan pendalaman lebih lanjut. Oleh sebab Itu
Psikolog itu dengan santun menyarankan saya untuk mengantar Dika kembali Ke
tempat itu seminggu lagi. Menurutnya Dika perlu menjalani test kepribadian.
Suatu  sore,  saya  menyempatkan  diri  mengantar  Dika  kembali mengikuti serangkaian  test  kepribadian.  Melalui  interview  dan test tertulis yang
dilakukan,   setidaknya  Psikolog  Itu  telah  menarik  benang  merah  yang
menurutnya  menjadi  salah  satu atau  beberapa factor penghambat kemampuan
verbal  Dika. Setidaknya saya bisa membaca jeritan hati kecil Dika. Jawaban
yang  jujur dari hati Dika yang paling dalam itu membuat saya berkaca diri,
melihat wajah  seorang ibu yang masih jauh dari ideal.

Ketika Psikolog itu menuliskan pertanyaan "Aku ingin ibuku :...."
Dikapun  menjawab  :  "membiarkan aku bermain sesuka hatiku, sebentar saja"
Dengan  beberapa  pertanyaan  pendalaman,  terungkap  bahwa selama ini saya
kurang  memberi  kesempatan kepada Dika untuk bermain bebas. Waktu itu saya
berpikir  bahwa  banyak  ragam  permainan-permainan  edukatif sehingga saya
merasa perlu menjawalkan kapan waktunya menggambar,  kapan waktunya bermain
puzzle,  kapan waktunya bermain basket, kapan waktunya membaca buku cerita,
kapan waktunya main game di computer dan sebagainya.

Waktu  itu  saya  berpikir bahwa demi kebaikan dan demi masa depannya, Dika
perlu  menikmati  permainan-permainan  secara  merata  di  sela-sela  waktu
luangnya yang memang tinggal sedikit karena sebagian besar telah dihabiskan
untuk  sekolah  dan  mengikuti berbagai kursus di luar sekolah. Saya selalu
pusing  memikirkan  jadwal kegiatan Dika yang begitu rumit. Tetapi ternyata
permintaan Dika hanya sederhana :
diberi kebebasan bermain sesuka hatinya, menikmati masa kanak-kanaknya.

Ketika  Psikolog  menyodorkan  kertas  bertuliskan  "Aku  ingin Ayahku ..."
Dikapun  menjawab  dengan  kalimat  yang berantakan namun kira-kira artinya
"Aku  ingin  ayahku  melakukan  apa  saja  seperti dia menuntutku melakukan
sesuatu" Melalui beberapa pertanyaan pendalaman, terungkap bahwa Dika tidak
mau  diajari  atau disuruh, apalagi diperintah untuk melakukan ini dan itu.
Ia  hanya ingin melihat ayahnya melakukan apa saja setiap hari, seperti apa
yang  diperintahkan  kepada  Dika.  Dika  ingin  ayahnya  bangun  pagi-pagi
kemudian  membereskan  tempat tidurnya sendiri, makan dan minum tanpa harus
dilayani  orang  lain, menonton TV secukupnya, merapikan sendiri koran yang
habis  dibacanya  dan  tidur  tepat waktu. Sederhana memang, tetapi hal-hal
seperti itu justru sulit dilakukan oleh kebanyakan orang tua.

Ketika Psikolog mengajukan pertanyaan "Aku ingin ibuku tidak ..." Maka Dika
menjawab  "Menganggapku seperti dirinya" Dalam banyak hal saya merasa bahwa
pengalaman hidup saya yang suka bekerja keras, disiplin, hemat, gigih untuk
mencapai  sesuatu  yang  saya inginkan itu merupakan sikap yang paling baik
dan  bijaksana.   Hampir-hampir  saya  ingin menjadikan Dika persis seperti
diri  saya.   Saya dan banyak orang tua lainnya seringkali ingin menjadikan
anak  sebagai foto copy diri kita atau bahkan beranggapan bahwa anak adalah
orang dewasa dalam bentuk sachet kecil.

Ketika Psikolog memberikan pertanyaan "Aku ingin ayahku tidak : .."
Dikapun menjawab "Tidak mempersalahkan aku di depan orang lain.
Tidak mengatakan bahwa kesalahan-kesalahan kecil yang aku buat adalah dosa"

Tanpa  disadari,  orang  tua sering menuntut anak untuk selalu bersikap dan
bertindak  benar,  hingga  hampir-hampir tak memberi tempat kepadanya untuk
berbuat  kesalahan. Bila orang tua menganggap bahwa setiap kesalahan adalah
dosa  yang  harus  diganjar dengan hukuman, maka anakpun akan memilih untuk
berbohong  dan  tidak  mau  mengakui  kesalahan yang telah dibuatnya dengan
jujur. Kesulitan baru akan muncul karena orang tua tidak tahu kesalahan apa
yang  telah  dibuat  anak, sehingga tidak tahu tindakan apa yang harus kami
lakukan untuk mencegah atau menghentikannya.

Saya  menjadi  sadar  bahwa  ada  kalanya anak-anak perlu diberi kesempatan
Untuk  berbuat  salah,  kemudian  iapun  bisa  belajar  dari  kesalahannya.
Konsekuensi  dari  sikap dan tindakannya yang salah adakalanya bisa menjadi
pelajaran  berharga supaya di waktu-waktu mendatang tidak membuat kesalahan
yang serupa.

Ketika Psikolog itu menuliskan "Aku ingin ibuku berbicara tentang ....."
Dikapun  menjawab "Berbicara tentang hal-hal yang penting saja". Saya cukup
kaget  karena  waktu  itu  saya  justru  menggunakan kesempatan yang sangat
sempit,  sekembalinya  dari kantor untuk membahas hal-hal yang menurut saya
penting,  seperti menanyakan pelajaran dan PR yang diberikan gurunya. Namun
ternyata  hal-hal  yang menurut saya penting, bukanlah sesuatu yang penting
untuk anak saya.

Dengan  jawabab  Dika  yang  polos  dan  jujur  itu  saya  dingatkan  bahwa
kecerdasan  tidak lebih penting dari pada hikmat dan pengenalan akan Tuhan.
Pengajaran tentang kasih tidak kalah pentingnya dengan ilmu pengetahuan.

Atas pertanyaan "Aku ingin ayahku berbicara tentang .....",
Dikapun     menuliskan     "Aku     ingin    ayahku    berbicara    tentang
kesalahan-kesalahannya.  Aku ingin ayahku tidak selalu merasa benar, paling
hebat   dan   tidak   pernah  berbuat  salah.  Aku  ingin  ayahku  mengakui
kesalahannya dan meminta maaf kepadaku". Memang dalam banyak hal, orang tua
berbuat  benar  tetapi sebagai manusia, orang tua tak luput dari kesalahan.
Keinginan  Dika sebenarnya sederhana, yaitu ingin orang tuanya sportif, mau
mengakui kesalahnya dan kalau perlu meminta maaf atas kesalahannya, seperti
apa yang diajarkan orang tua kepadanya.

Ketika Psikolog menyodorkan tulisan "Aku ingin ibuku setiap hari........"
Dika  berpikir  sejenak,  kemudian  mencoretkan penanya dengan lancar " Aku
ingin  ibuku mencium dan memelukku erat-erat seperti ia mencium dan memeluk
adikku"  Memang  adakalanya  saya  berpikir bahwa Dika yang hampir setinggi
saya  sudah  tidak pantas lagi dipeluk-peluk, apalagi dicium-cium. Ternyata
saya  salah,  pelukan hangat dan ciuman sayang seorang ibu tetap dibutuhkan
supaya  hari-harinya  terasa  lebih  indah.  Waktu itu saya tidak menyadari
bahwa  perlakukan  orang tua yang tidak sama kepada anak-anaknya seringkali
oleh
anak-anak diterjemahkan sebagai tindakan yang tidak adil atau pilih kasih.

Secarik kertas yang berisi pertanyaan "Aku ingin ayahku setiap hari....."
Dika  menuliskan  sebuah  kata  tepat  di atas titik-titik dengan satu kata
"tersenyum"  Sederhana  memang, tetapi seringkali seorang ayah merasa perlu
menahan  senyumannya  demi  mempertahankan  wibawanya. Padahal kenyataannya
senyuman  tulus  seorang  ayah sedikitpun tidak akan melunturkan wibawanya,
tetapi  justru  bisa  menambah  simpati  dan  energi  bagi  anak-anak dalam
melakukan segala sesuatu seperti yang ia lihat dari ayahnya setiap hari.

Ketika  Psikolog  memberikan  kertas  yang  bertuliskan  "Aku  ingin  ibuku
memanggilku...."  Dikapun  menuliskan  "Aku  ingin ibuku memanggilku dengan
nama yang bagus"
Saya  tersentak  sekali  !  Memang sebelum ia lahir kami telah memilih nama
yang  paling  bagus  dan penuh arti, yaitu Judika Ekaristi Kurniawan. Namun
sayang,  tanpa sadar, saya selalu memanggilnya dengan sebutan Nang atau Le.
Nang  dalam  Bahasa Jawa diambil dari kata "Lanang" yang berarti laki-laki.
Sedangkan  Le dari kata "Tole", kependekan dari kata "Kontole" yang berarti
alat  kelamin  laki-laki.  Waktu  itu  saya merasa bahwa panggilan tersebut
wajar-wajar  saja, karena hal itu merupakan sesuatu yang lumrah di kalangan
masyarakat Jawa.

Ketika    Psikolog   menyodorkan   tulisan   yang   berbunyi   "Aku   ingin
ayahkumemanggilku  .."Dika hanya menuliskan 2 kata saja, yaitu "Nama Asli".
Selama  ini  suami saya memang memanggil Dika dengan sebutan "Paijo" karena
sehari-hari  Dika berbicara dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Sunda dengan
logat Jawa medok. "Persis Paijo, tukang sayur keliling" kata suami saya.
Atas  jawaban-jawaban  Dika  yang  polos  dan jujur itu, saya menjadi malu
karena   selama   ini  saya  bekerja  disebuah  lembaga  yang  membela  dan
memperjuangkan   hak-hak   anak.   Kepada  banyak  orang  saya  kampanyekan
pentingnya  penghormatan  hak-hak  anak sesuai dengan Konvensi Hak-Hak Anak
Sedunia.  Kepada khalayak ramai saya bagikan poster bertuliskan "To Respect
Child   Rights   is  an  Obligation,  not  a  Choise"  sebuah  seruan  yang
mengingatkan  bahwa "Menghormati Hak Anak adalah Kewajiban, bukan Pilihan".
Tanpa  saya  sadari,  saya  telah  melanggar  hak  anak  saya  karena telah
memanggilnya dengan panggilan yang tidak hormat dan bermartabat.

Dalam  diamnya  anak,  dalam senyum anak yang polos dan dalam tingkah polah
anak  yang  membuat  orang  tua kadang-kadang bangga dan juga kadang-kadang
jengkel, ternyata ada banyak Pesan Yang Tak Terucapkan.

Seandainya  semua  ayah mengasihi anak-anaknya, maka tidak ada satupun anak
yang  kecewa  atau  marah  kepada ayahnya. Anak-anak memang harus diajarkan
untuk menghormati ayah dan ibunya, tetapi para ayah (orang tua) tidak boleh
membangkitkan  amarah  di dalam hati anak-anaknya. Para ayah harus mendidik
anaknya di dalam ajaran dan nasehat Tuhan.

Untuk  menyambut  Peringatan Hari Anak Nasional Tanggal 23 Juli 2004,  Saya
ingin  mengingatkan  kembali  kepada para orang tua supaya selalu berpikir,
bersikap dan melakukan hal-hal yang dikehendaki Tuhan.
Ditulis oleh : Lesminingtyas)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar